PELUANG



Mendiskusikan kata “peluang” adalah membincangkan asusmi nalar prediktif atau membangun sebuah ruang gerak yang dapat berwujud konkret atau abstrak. Dapat disebut juga seperti membangun seutas seni untuk menerka kemungkinan dalam mencapai tujuan tertentu. Mungkin terealisasi, mungkin tidak. Sehingga irisan definisnya sering berdekatan dengan sudut pandang politik dan kajian lainnya melalui kerangka besar disiplin ilmu pengetahuan tertentu.     
Pada taraf itu, politisi termasuk yang paling banyak menggunakan teori peluang. Mereka sudah duduk berdiskusi jauh-jauh hari sebelum tiba masa “pertarungan” atau persaingan politik. Bahkan fatsun politik sudah terdistribusi merata ke semua kadernya. Biasanya menggunakan angka dan mengabaikan persepsi dalam melakukan prediksi seberapa besar peluang yang akan diperoleh. Maka kapan menyebut seorang calon populer atau tidak, hasil survei menjadi satu-satunya senjata pamungkas.
Bukan hanya dunia politik saja, dalam meramalkan cuaca pun berlaku hukum peluang. “Apa artinya peluang 0.8 ini?” Tanya orang awam. “Peluang 0.8 secara sederhana dapat diartikan bahwa probabilitas untuk turun hujan esok adalah 8 dari 10 (yang merupakan kepastian)”. Jadi biar pun kita mempunyai peluang 0.8 persen bahwa hari akan hujan namun masih terbuka kemungkinan bahwa hari tidak akan hujan? “Benar demikian” sahut ilmuan”.
Dialog singkat antara ilmuan dan orang awam di atas adalah sebuah kisah yang ditulis oleh Prof. Jujun S. Suriasumantri, dalam buku Filsafat populernya. Tujuannya menjelaskan bahwa dalam analisis peluang hanya berlaku hukum prediksi, dan prediksi yang paling mendekati kebenaran harus dilakukan melalui takaran ilmu yang bersifat ilmiah (logis dan terukur dengan metode tertentu). Itu pun hanya mendekati kebenaran absolut. Sebab ilmu itu sendiri tidak pernah ingin dan berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak. Ia hanya menghidangkan pengetahuan sebagai dasar untuk mengambil keputusan yang didasarkan kepada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif. Tetapi kata akhir dari suatu keputusan terletak di tangan kita dan bukan pada teori keilmuan.
Berpegang pada hikayat tersebut, setiap kita sebenarnya memiliki peluang  yang sama. Menjadi orang pintar, ilmuan, politisi, birokrat, atau lainnya. Hanya menunggu kemauan saja. Tetapi berapa besar takaran peluangnya memang sulit ditebak. Kapan, dan bagaimana proses terealisasinya juga masih abstrak, dan ribet uraiannya. Evo Morales, seorang Presiden ternama Bolivia tidak menyangka jika teriakannya bahwa suatu ketika ia akan menjadi Presiden, di hadapan teman-teman sekolah dasarnya adalah bentuk peluang yang terwujud rapi. Sambil menunjuk ke teman-temannya, ia berdiri tegap, lalu berkata: Anda-anda ini akan saya angkat sebagai menteri. Mimpinya tercapai. Presiden dengan julukan: Presiden Pilihan Rakyat.

Peluang Politik
Konon ceritanya, ketika mementum politik hendak ditabuh, banyak “analis politik” yang ingin menjadi tim penyukses. Mencoba memberi keyakinan kepada figur-figur tertentu yang menurut asumsinya memiliki peluang. “Peluangnya cukup besar Pak. Kita akan memenangkan pertarungan  politik ini. Apa lagi Bapak kan tokoh masyarakat yang sudah teruji dan terpercaya. Jadi pasti kita menang.” Begitulah kira-kira bunyi petuah seorang penasehat politik kawakan pada koleganya yang berencana mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Angka prosentase pun tak luput untuk disebutkan. “Ya..pokoknya 50-65 % Bapak akan menguasai seluruh kantong-kantong suara”. Entah bagaimana metode kalkulasinya dalam menghitung peluang tersebut bukan sasaran utama. Yang paling utama adalah meyakinkan dulu Si calon bahwa ada peluang. Itu intinya.
Si calon menghirup informasi tersebut sambil tersenyum. Kursi kekuasaan seakan sudah dekat. Lalu, genderang pertarungan pun dimulai. Peristiwa-peristiwa ikutan semisal kampanye hitam ikut memayungi permainan ini. Hiruk-pikuk pun mendampingi semua gerak dan langkah politik. Tidak ada pertimbangan lain, selain harus memperoleh kemenangan. Padahal tidak hanya begitu caranya.
Peluang memang dapat dihitung oleh siapa pun tetapi memastikan nilai absolutnya di luar jangkauan ilmu pengetahuan. Artinya berdasarkan teori-teori keilmuan, kita tidak akan pernah mendapatkan hal yang pasti mengenai suatu kejadian, tanya seorang awam kepada seorang ilmuan (lanjut dari dialog antara ilmuan dan orang awam di atas).  Ilmuan itu menggelengkan kepalanya. “Tidak”, jawab ilmuan itu sambil tersenyum apologetik, hanya kesimpulan yang probabilistik. Jadi berdasarkan meterologi dan geofisika saya tidak pernah merasa pasti bahwa esok hari akan hujan atau tidak hujan, sambung orang awam itu, kian penasaran. Tidak, jawab ilmuan tersebut, tetap tersenyum. “Saya hanya mengatakan, umpamanya, bahwa dengan probilitas 0.8, esok tidak akan turun hujan”.

Mengukur Peluang
Ilmu memang tidak punya daya mendekati nilai peluang absolut. Tetapi dapat dijadikan ukuran sebab ia memiliki tatacara tersendiri yang diakui. Misalnya, teori keilmuan, ungkap Bakhtiar (2009), bersifat koheren, empiris, sistematis, dapat diukur dan dibuktikan. Ilmu tidak memberi pengertian dalam wujud kepingan pengetahuan, sebaliknya menandakan seluruh kesatuan ide yang mengacu ke objek (atau alam objek) yang sama dan saling berkaitan secara logis. Karena itu, koherensi sistematik menjadi hakikat ilmu. Prinsip objek dan hubungannya yang tercermin dalam kaitan logis yang dapat dilihat dengan jelas. Meskipun demikian, Ilmu  tidak memerlukan kepastian lengkap berkenaan dengan masing-masing penalaran perorangan, sebab ilmu termuat di dalam dirinya sendiri hipotesis dan teori yang belum sepenuhnya dimantapkan. Menggunakan prinsip secara metodologis dengan menggabungkan secara teratur dari banyak ide yang terpisah.
Suatu penemuan—termasuk menentukan peluang—tidak dikatakan bersandar pada analisis keilmuan jika dalam prosesnya tidak dilakukan secara sistematis. Jangan pula disebut atas dasar ilmu pengetahuan, seandainya analisis peluangnya tidak dibuktikan secara empiris berdasarkan pengamatan, percobaan terstruktur dalam bentuk pengalaman, langsung maupun tidak langsung. Sebab salah satu tugas ilmu adalah memprediksi sebuah kebenaran melalui garis mengamati, menganalisis, menalar, membuktikan, dan menyimpulkan hal-hal empiris.
Pendapat lain menyebut bahwa sifat ilmu adalah objektif.  Bentuk pengetahuan yang bebas dari prasangka perorangan (person bias), dan perasaan subjektif berupa kebencian pribadi. Mengandung pernyataan serta data yang menggambarkan secara terus terang atau mencerminkan secara tepat gejala yang ditelaahnya (Latif, 2014). Kemudian didalamainya secara analitis, dan memberi ruang terbuka kepada khalayak ramai untuk dapat memeriksa dan menguji kebenarannya.
Begitu panjang dan berliku. Sehingga kapan seseorang memberi prediksi terhadap terjadinya sebuah peluang atas suatu peristiwa (politik  atau gejalah alam), perlu bersandar pada dua makna pokok, yakni peluang hanya bersifat prediktif (tidak/belum memiliki kepastian), dan cara memprediksinya membutuhkan konsep ilmu pengetahuan tertentu. Hasil penelitian sekalipun hanya mendasarkan diri pada pembuktian akan kebenaran hipotesis yang di dalamnya tetap menggunakan prosentse toleransi tingkat kesalahan.
Lalu mengapa para pengamat, elit dan politisi begitu gemar membuat prediksi  yang mungkin tanpa “sandaran” metodologi, seolah-olah ada kepastian dalam sebuah aktivitas politik (termasuk pada Pilkada/PSU), walaupun pada akhirnya belum tentu terbukti?[].    
          

Komentar